Legenda Aji Saka
menjadi mitos yang sangat popular di jawa, konon Prabu Aji Saka adalah yang
pertama kali mengajarkan Aksara Hanacaraka yaitu huruf Jawa saat ini, ada
keyakinan juga bahwa Aji Saka lah yang pertama membawa dan memperkenalkan
senjata Keris Ke jawa, bahkan sebagian besar meyakini bahwa Aji Saka lah
peletak dasar budaya Jawa.
Aji Saka
diyakini datang ke Jawa pada tahun 1 Saka sehingga dianggap juga sebagai
penetap pertama perhitungan tahun jawa yaitu tahun Saka yang dimulai dari tahun
79 masehi. Anggapan bahwa tahun saka adalah tahun Jawa sebenarnya adalah
anggapan yang keliru mengingat prasasti-prasasti di Nusantara seperti prasasti
persumpahan Sriwijaya pun menggunakan tahun Saka. Tetapi begitulah mitos yang sudah mengakar dan
diyakini selama ini.
Berbagai versi legenda Aji Saka
yang beredar tetapi semua meyakini ajisaka lah yg pertama menciptakan huruf
hanacaraka, intinya dikisahkan prabu Aji Saka datang ke tanah Jawa mendengar dewata
cengkar sebagai penguasa medang kamulan suka makan manusia (rakyatnya),
sehingga rakyat nya makin susut dan banyak yg lari, Aji saka memiliki 2 orang
pembantu yang pertama disuruh tinggal menjaga pusakanya (keris) dengan pesan
tidak boleh diserahkan siapapun kecuali Ajisaka sendiri yang dating
mengambilnya, pembantu yang satu dia bawa serta ke Medang kamulan, di Medang
Kamulan Aji Saka mendaftar menjadi mangsa dewata cengkar dengan sarat meminta
tanah sepanjang ikat kepalanya, Dewata cengkar meluluskan tetapi waktu ikat
kepala ditarik terus menerus bertambah panjang sehingga dewata cengkar sampai
ke tepi laut selatan dan akhirnya dijebloskan ke laut selatan dan berubah
menjadi buaya putih, Ajisaka kemudian menjadi Raja di medang kamulan. Setelah
beberapa lama Ajisaka teringat pada
keris pusakanya dan menyuruh pembantunya yang turut serta ke Medang kamulan
untuk mengambil keris pusakanya, pembantu yang menjaga pusaka mengingat pesan
ajisaka tidak boleh menyerahkan pada orang lain selain ajisaka tidak mau
memberikan sehingga berkelahi dengan pembantu yang disuuruh mengambil sehingga
keduanya mati. Atas kematian kedua pembantunya ini Ajisaka menciptakan aksara
Jawa
Hana caraka" =
"Ana utusan"
"Data sawala= "saling bertengkar"
"Padha jayanya" = "sama digjayanya"
"Maga bathanga" = "sama jadi Bangkai"
Keunikan Aksara
Jawa yang disusun dari lima-lima huruf (suku kata) sehingga membentuk empat kalimat menimbulkan perbagai tafsiran
dan makna filosofis, berdasarkan pemahaman masing-masing penghayatnya. Di bawah
ini contoh penafsiran filosofis yang diberikan pada aksara hanacaraka
Carakan harus
dibaca sebagaimana kita membaca "Candra Sengkala", yaitu dimulai dari
"Maga Bathanga".
Maga mbathang
= Menempuh jalan kematian (nafsu) sebelum mengalami kematian fisik atau
kematian yang kita mengerti dalam hukum biologi.
Perlu
diketahui bahwa kata "maga" adalah kata Jawa Kuna yang berarti
"musim", atau sebutan bagi bulan ketujuh (11 Januari - 11 Februari).
Dus, maga mbathang adalah pengkondisian diri untuk menjalani hidup semedi yang
sebenarnya. Inilah kondisi untuk menghilangkan "dualitas" dalam
persepsi kehidupan ini.
Padha jayanya
= kekuatan dalam diri manusia dan di luarnya telah menyatu padu. Dalam bahasa
daratan Cina, Yin dan Yang telah jumbuh menjadi satu sehingga tak bisa lagi
diekstrak unsur-unsurnya.
Dhata sawala =
tiada lagi pertentangan antara unsur luar dan dalam, tiada lagi pertentangan
unsur Yin dan Yang.
Perlu
diketahui bahwa dhata ialah kosa kata Jawa Kuna yang searti dengan dhatan yang
maknanya "tanpa" atau "tiada". Sedangkan "sawala"
bermakna pertentangan, pertikaian, atau perkosaan.
Hana caraka =
muncullah caraka, atau lahirlah pesan atau kreasi Dus, lahirnya alam semesta
ini ya adanya proses Hanacaraka pada Sang Hidup atau Hyang Urip. Terjadinya
kreasi dalam kehidupan ini ya karena adanya manusia-manusia yang menjalani
proses Hanacaraka.
Adapula tafsir berbeda yang diajarkan
oleh Pakubuwono IX, Raja Kasunanan Surakarta. Tafsir tersebut adalah:
·
Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada " utusan " yakni
utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia.
Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya
untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia (
sebagai ciptaan ).
·
Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan
sampai dengan data " saatnya (dipanggil ) " tidak boleh sawala "
mengelak " manusia ( dengan segala atributnya ) harus bersedia
melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan.
·
Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti
menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi hidup
( makhluk ).
Maksdunya padha " sama " atau sesuai, jumbuh, cocok " tunggal
batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya
itu " menang, unggul " sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan
" sekedar menang " atau menang tidak sportif.
·
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti
menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha
Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun
manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.
Mengenai asal
usul Ajisaka terdapat banyak versi ada yg mengatakan dari India ada yg mengatakan
dari Arab, dan lain-lain, yang menarik beberapa kitab menghubungkan Ajisaka
dengan Lampung, bahkan Ronggowarsito dalam Serat Witoradyo menyatakan dengan
jelas bahwa Ajisaka berasal dari Lampung
RNG. Ronggowarsito, Serat Witoradyo, III. Surakarta:
Albert Rusche & Co, 1922: hal. 11-23.
Diceritakan, bahwa di
tanah Lampung berdiri sebuah kerajaan dengan rajanya Prabu Isaka berasal dari tanah Hindu. Sang Prabu Isaka turun takhta
dan digantikan oleh Patihnya bernama Patih
Balawan. Kemudian dengan empat orang pengiringnya, Sang Isaka yang telah
menjadi seorang Brahmana pergi ke tanah Jawa dan tiba di Ujung Kulon (Kulon ?).
Di situ mendirikan perguruan dan dia sebagai gurunya dengan gelar Sang Mudhik
Bathara Tupangku. Muridnya bertambah banyak. Di dalam perguruan itu diajarkan
ilmu kesusastraan, ilmu penitisan (inkarnasi), dan ilmu keagamaan. Beberapa
lama di Ujung Kulon, dia pergi ke Galuh dan kemudian terus mengembara ke tanah
timur. Sampailah di negara Medhang Kamulan yang rajanya bernama Prabu Dewata Cengkar.
....Kebetulan pada waktu itu keadaan masyarakat Mendhang
Kamulan sedang resah. Kesempatan ini digunakan oleh Aji Saka (baca umat Hindu)
untuk menyebarkan agama Hindu di masyarakat Mendhang Kamulan. Hal ini dikiaskan
dalam lambang "desthar" (ikat kepala). Tradisi Jawa menggunakan ikat
kepala. Sedang kepala adalah tempat otak, pikir, nalar. Di otak itulah
tersimpan segala macam ilmu pengetahuan manusia. Ikat kepala tadi ketika
ditebarkan (di jereng) dapat menutupi seluruh Wilayah Mendhang Kamulan. Di
sinilah pengikut Prabu Dewata Cengkar harus mengakui kekalahan berebut
pengaruh, dan harus menyingkir dari negeri Medhang (dikiaskan dengan
menyeburkan diri ke laut menjadi seekor buaya putih).
Ketika Aji Saka menjadi raja, ditandai dengan sengkalan
"nir wuk tanpa jalu" yang menunjukkan angka tahun 1000 Saka atau 1078
Masehi. Tahun Saka diciptakan berdasarkan peringatan penobatan Prabu Kanishka
di India pada tahun 79 M = 1 Saka. Tahun Saka mengikuti peredaran Matahari. Di
Jawa terdapat tradisi penggunaan sengkalan tersebut. Apabila menggunakan
perhitungan tahun Matahari, disebut Surya Sengkala, dan bila menggunakan
perhitungan peredaran Bulan di sebut Candra Sangkala. Lahirnya Candra Sangkala
adalah sejak masa Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) menciptakan Tahun
Jawa dengan perhitungan peredaran Bulan (sejak 1555 Saka atau tahun 1633
Masehi).
Apakah legenda ajisaka ini sekedar cerita tanpa
kaitan sejarah sama sekali? Legenda Ajisaka menurut serat Witoradyo ini agaknya
sesuai dengan Legenda tentang rakian Sakti / Si Naga sakti/ Aji Saka buay Aji di Sukarami Aji Komering .
Legenda Rakian Sakti di Komering ini sedikit
banyaknya memiliki pijakan sejarah karena Tambo Paksi Bujalan di Way dari Paksi Pak Sekala Bgha di lampung
mencatat silsilah Rakian Sakti sebagai berikut:
1.
Ratu Tunggal, memiliki
tiga orang anak
2.
Kun Tunggal Simbang Negara, bersaudara dengan Menang Pemuka yang bergelar Ratu
Dipuncak yang kemudian pindah ke Bukit Kemuning dan menurunkan jurai Abung.
Ratu Dipuncak memiliki empat orang putra yaitu Unyi, Unyai, Subing dan Nuban
yang merupakan keturunan Paksi Buay Bejalan Diway serta lima Marga lainnya
yaitu Anak Tuha, Selagai, Beliyuk, Kunang dan Nyerupa yang merupakan keturunan
dari tiga Paksi lainnya sehingga menjadi Abung Siwo Mego.
3.
Ratu Mengkuda Pahawang, memiliki tiga orang anak
4.
Puyang Rakian, dua orang saudaranya yaitu Puyang Naga Brisang menurunkan jurai Pakuan Ratu Way Kanan dan Puyang Rakyan Sakti
yang menurunkan Marga Ngambur
Puyang rakian Sakti keturunan ratu tunggal dari
Puncak Sukarami Sekala Bgha inilah yang berjuluk Aji Saka.
Tambo dari desa Bambang Pugung Krui mencatat:
Puyang Rakian Sakti (Si naga Putih) bersaudara dengan Puyang Naga Barisang,
Puyang Naga barisang berputra Raja Nganggah-Anggah, Raja Nganggah-Anggah
memiliki beberapa putra salah satunya Pemuka Sindang Belawan.
Menurut Ronggowarsito dalam Serat Witoradyo Aji Saka menyerahkan kekuasaan
kepada patih Belawan, kemungkinan
yang dimaksud adalah Pemuka Sindang Belawan
yang sesungguhnya merupakan cucu keponakannya.
Legenda Aji Saka dari gunung Merapi
mengungkap secara lebih samar mengenai asal Ajisaka
Waktu itu Resi
Sengkala atau Jaka Sengkala atau
Jitsaka— kalangan umum menyebutnya Ajisaka— telah memberikan nama-nama gunung
di seluruh Jawa. Sebelum datang ke Pulau Jawa, sang resi adalah raja yang
bertahta di Kerajaan Sumatri. Karena
kemenangan Maharaja Kusumawicitra itu, maka segala sesuatu yang berada di bawah
kekuasaannya diganti namanya disesuaikan dengan kebudayaan Mamenang
.
Nama lain Aji saka dalam kisah ini adalah Resi Sengkala, atau Jaka
Sengkala, (Pemuda dari Sengkala?) nama Sengkala mengingatkan pada kerajaan
Sekala Bgha (Sekala Bkhak) di Lampung, jadi versi kisah inipun secara tersirat
menunjukan bahwa Ajisaka berasal dari kerajaan Sekala Bgha di Lampung. Nama
Sumatri pun sangat dekat dengan nama Sumatera
Saka adalahperubahan dalam bahasa Jawa dari kata
Sansekerta Syaka, yang di India artinya “Bangsa Scyth” dari Persia utara
yang pindah ke India Utara, tetapi yang di Jawa, kebanyakan dalam bentuk kata
majemuk syakakala, mungkin ini
juga yang menjadi dasar penamaan Kerajaan Sekala Bgha di lampung.
Meskipun lebih samar versi inipun menunjukan hubungan antara Aji Saka dengan
Sekala Bgha di lampung.
Dalam Serat Ajidharma dan Ajinirmala karya
R. Ng.Ranggawarsita dikatakan bahwa
Ajisaka datang ke jawa sebanyak 3 kali, Pertama ke gunung Khanda (Kendeng?)
tetapi kolonisasi pulau Jawa gagal 20.000 keluarga yang dikirim dari Rum tinggal
20 keluarga yang selamat
Inilah keterangan Sĕrat Ajidarma contoh kutipan dari Kitab Musarar, induk (pokok naskah) dari Rum, yang menceritakan
ketika Jaka Sangkala membuka daerah di Gunung Kendheng, yaitu (ketika) Ajisaka
mulai menginjakkan (kakinya) yang pertama kali di tanahJawa. Pada waktu itu
ditandai sengkalan: Kunir-rawuk-tanpa-jalu,
tahun Sambrama, jika diambil dari (perhitungan) tanda sangkala itu tahun 1000,
adapun (jika) diambil dari permulaan menjadi tahun 1.
…
Setelah itu Jaka Sangkala berpindah ke gunung Cawang, gunung Pinggan, gunung
Hyang, gunung Lawang, dan gunung Limungan. Setahun kemudian terjadilah wabah
penyakit yang sangat mengerikan yang menyebabkan dari 20.000 keluarga hanya
tinggal 20 keluarga saja. Sedangkan yang lainnya binasa karena keangkeran pulau
Jawa. Oleh karena itu kemudian mereka melarikan diri pulang kembali ke Rum.
Sesampainya mereka di Rum, Jaka Sangkala menceritakan hasil perjalanannya di
pulau Jawa kepada Sultan Algabah
Kedatangan kedua
ajisaka (jaka Sengkala ) bersama dengan Molana
Ngali Samsujen (syekh Maulana Ali Samsu
Zen) memasang penangkal di pulau Jawa
Kemudian Sultan Algabah memanggil para pendeta dan
pertapa untuk mengisi manusia kembali atas pulau Jawa dengan memasang penangkal
terlebih dahulu. Dari hasil pembicaraan mereka ditetapkan bahwa Jaka Sangkala
dan Molana Ngali Samsujen bersama para pendeta dan pertapa kembali ke Jawa
untuk memasang penangkal. Penangkal tersebut dipasang di lima (5) tempat, yakni di sebelah utara,
selatan, barat, timur, dan tengah (gunung Tidar, tanah Kedhu). Beberapa hari
kemudian pemasangan penangkal tersebut menampakkan hasilnya. Peristiwa alam
yang dahsyat terjadi menempuh para hantu penghuni tanah Jawa, membuat mereka merasa
kepanasan dan kesakitan, sehingga melarikan diri masuk ke laut.
Kedatangan ketiga setelah keadaan tenang kembali datanglah utusan dari
Rum untuk memanggil kembali Jaka Sangkala ke Pulau Jawa. Sebelum utusan
Rum datang, Jaka Sangkala telah menyelesaikan penyusunan Sĕrat Cakrawarti dan Sĕrat Paliprawa untuk menjadi pegangan bagi orang Jawa. Pada kedatangan ke tiga inilah Ajisaka menduduki Medang Kamulan
Setelah keadaan tenang
kembali maka datanglah utusan dari Rum untuk memanggil kembali Jaka Sangkala.
Akan tetapi sebelum utusan Rum datang, maka Jaka Sangkala menyelesaikan
penyusunan Sĕrat Cakrawarti dan Sĕrat Paliprawa untuk menjadi
pegangan bagi orang Jawa. Jaka Sangkala pun menciptakan tahun, windu, danbulan
Jawa secara rinci.
Pada waktu Jaka Sangkala, saat Ajisaka membuka hutan di
Gunung Alaulu diberi (ditandai) sengkalan: Sarira-suci: 48.
Kalau dalam Serat Witoradyo IIIRNG. Ronggowarsito menyatakan bahwa Aji
saka berasal dari Lampung pada Serat Ajidharma Ajinirmala bahkan lebih
jelas menunjukan tempat Jaka Sengkala di lampung yaitu di gunung Alaulu.
Gunung Alaulu
megingatkan dengan cerita tambo Paksi Pak Sekala Bgha yang menyatakan bahwa
sebelum kedatangan Puyang-puyang penyebar agama Islam, Sekala Bghak telah dihuni berbagai penduduk
pribumi yg terbesar adalah suku Tumi, kebudayaan suku Tumi diawali oleh
datangnya umpu Tumi sebagai pembuka pertama tanah Sekala Bgha kemudian pada
abad awal masehi Sekala Bgha dikuasai gelombang pendatang berikutnya yang
dipimpin Lalaula. Karena kebesaran
Puyang Lalaula ini maka ada daerah pegunungan di Sekala Bgha yang sekarang
dinamakan Belalau.
Meskipun hanya
berdasarkan kesamaan bunyi, bisa disimpulkan bahwa Ronggowarsiro menunjukan tempat Jaka Sengkala
sebelum diperintahkan raja Rum untuk ke Jawa adalah di gunung Alaulu/Lalaula yg
sekarang dikenal sebagai Belalau.
Serat primbon Jaya Baya menyebutkan bahwa Ajisaka datang dari Pulo Najiran,
datang ke Jawa Lewat tanah Lampung
Dalam serat
primbon Jayabaya ( hal. 23 - 24 ) terdapatlah pasal yang menyebutkan tentang
perginya Prabu Esaka dalam bab V Piwulang Dewa, yang berbunyi :
Pun Jaka sengkala anakipun Empu Anggejali,
patutan saking Dewi Saka, Putranipun Raja Sarkil ing pulo Najran Sareng Jaka
Sengkolo jumeneng nata, jejuluk Sang Aji Saka jengkar saking negaripun lajeng
Nga Jawi, tanpo wonten ing redi kandha ( kendeng ? ) tlatah banyuwangi jejuluk
Empu Sengkala. Anuju ing Surya Adam, tahun 5164, Chandra 5316, Empu Sengkala
macak titimangsa tahun jawi : kaeteng tahun Candra - Sengkala I Warsa. Tahun
Rum anuju angka 444 warsa. Tahun Adam tahun Surya 5161 warsa. Tahun Masehi 78
jumenengan nata
.
Bada waktu Jaka Sengkala yang kemudian bergelar Aji Saka ditanah najiran, dia berguru kepada Nabi Muhamad SAW. Oleh guru dia diusir karena bersahabat pula dengan Malaikat Ijajil (Iblis). Kemudian Aji Saka pergi ke tanah Jawa lewat tanah Lampung, dengan namanya Sang Mudhik bathara Tupangku. Dia ke tanah Jawa dengan keempat orang muridnya. Di tanah Jawa dia mendirikan perguruan di ujung kulon. Kemudian mengembara sampai ke Galuh. Disini murid - muridnya ditinggalkannya, dan dia terus mengembara ke arah timur. Sampailah dia ke Medang Kamulan, tempat Prabu Dewata Cengkar, raja yang gemar makan manusia, bertahta .
Bada waktu Jaka Sengkala yang kemudian bergelar Aji Saka ditanah najiran, dia berguru kepada Nabi Muhamad SAW. Oleh guru dia diusir karena bersahabat pula dengan Malaikat Ijajil (Iblis). Kemudian Aji Saka pergi ke tanah Jawa lewat tanah Lampung, dengan namanya Sang Mudhik bathara Tupangku. Dia ke tanah Jawa dengan keempat orang muridnya. Di tanah Jawa dia mendirikan perguruan di ujung kulon. Kemudian mengembara sampai ke Galuh. Disini murid - muridnya ditinggalkannya, dan dia terus mengembara ke arah timur. Sampailah dia ke Medang Kamulan, tempat Prabu Dewata Cengkar, raja yang gemar makan manusia, bertahta .
lewat tanah Lampung apakah berarti hanya lewat
atau dia juga beranak pinak di lampung? Di Primbon Jayabaya ini pun disebutkan
bahwa nama lain Aji saka adalah Jaka sengkolo, Jaka/ Pemuda Sengkala/Sekala,
menyiratkan juga bahwa Aji Saka adalah Pemuda dari Sekala Bgha lampung tetapi yang
diistilahkan datang dari Pulau najiran lewat Lampung.
Kebanyakan masyarakat di lampung percaya nenek
moyang mereka berasal dari sekitar Ranau dan Bukit Pesagi yang merupakan
wilayah Sekala Bgha kuno, yang setelah berserikat mengislamkan Sekala Bgha
kemudian menyebar ke seluruh Lampung sampai ke Sumatera selatan bagian Selatan,
kebanyakan tambo buay di lampung saat ini silsilahnya berawal dari saat Sekala
Bgha Islam bukan berawal dari Sekala Bgha kuno Budha/hindu. Tetapi kapan
persisnya gelombang awal pengislaman Sekala Bgha/Sekala Bkhak masih simpang
siur, terdapat kecondongan menua2 kan periode awal nenek moyang masing masing mungkin
dengan tujuan menua2 kan trah keturunan masing-masing. Saat kedatangan Aji saka
menurut serat Witoradyo ini mungkin bisa menjadi petunjuk kapan tepatnya Islam
mulai masuk ke lampung.
Mengenai tahun kedatangan Aji saka selama ini
dipercaya pada tahun 1 Saka karena tahun saka berasal ndari nama Aji Saka
tetapi disini ternyata ada perhitungan yang agaknya lebih tepat yaitu Aji Saka menjadi raja, ditandai dengan
sengkalan "nir wuk tanpa jalu" yang menunjukkan angka tahun 1000 Saka
atau 1078 Masehi. Tahun saka bukan ditetapkan berdasarkan saat
kedatangan Ajisaka ke Pulau Jawa tetapi Tahun
Saka diciptakan berdasarkan peringatan penobatan Prabu Kanishka di India pada
tahun 79 M = 1, kalau penanggalan
ini tepat agaknya pada abad 11 masehi jugalah pengIslaman lampung dimulai.
Menarik bahwa ada catatan dalam Primbon jayabaya
yang mengatakan Jaka Sengkala yang kemudian bergelar Aji
Saka ditanah najiran berguru kepada Nabi Muhamad SAW. Oleh guru dia diusir
karena bersahabat pula dengan Malaikat Ijajil (Iblis). Kemudian Aji Saka pergi ke tanah Jawa lewat tanah Lampung,
dengan namanya Sang Mudhik bathara Tupangku..”Bersahabat dengan Malaikat
Ijail”
Kalimat bahwa
Ajisaka bersahabat dengan malaikat Ijail ini sangat menarik, beberapa
penafsiran bisa diberikan, bisa saja kalimat ini mengisyaratkan bahwa Aji Saka
mempraktekan Sihir sehingga diusir Nabi (gurunya) dalam hal ini tidak mungkin
yang dimaksud adalah nabi Muhammad tetapi mungkin yg dimaksud adalah gurunya
yang menjadi penerus nabi muhammad.
Kemungkinan kedua,
dan kelihatannya yang lebih tepat, cerita ini menggambarkan bahwa Aji saka mengajarkan
Islam yang disampaikan dengan cara bertahap disesuaikan dengan ajaran Sekala
Bgha (kepercayaan asli nusantara), karena tidak mungkin Ajisaka belajar kepada
nabi Muhammad secara langsung, kemungkinan ia diusir (dikucilkan/disingkirkan)
oleh ulama yang ingin mengajarkan Islam langsung secara murni tanpa istilah2
dan pemahaman kuno nusantara.
Bahwa Aji saka
/ Rakian sakti/ naga Sakti menyampaikan ajaran Islam dengan istilah-istilah
dari kepercayaan kuno juga dicatat pada cerita rakyat komering buay Aji bahwa
Aji saka diyakini sebagai jelmaan Nabi Khidir/ Naga Sakti sebagai penguasa alam
gaib yang mengajarkan hukum inti ketuhanan Jaya Sempurna.
Mungkin catatan Buay belunguh Paksi pak
sekala Bghak yang mengatakan ‘Umpu Belunguh dengan para hulubalangnya
menjumpai raja Rakian dan menceritakan maksud dan tujuan dari perjalanan mereka
yaitu untuk mengembangkan agama Islam, Raja Rakian bersama rakyat-rakyatnya
pada waktu itu 'dapat dikatakan' sudah
memeluk agama Islam..’ merupakan gambaran kondisi penerapan Islam
secara bertahap.
Tampaknya terdapat perselisihan diantara para
penyebar Islam di kala itu mengenai strategi penyebaran agama kepada penduduk
asli nusantara, setelah kegagalan gelombang pertama dimana digambarkan 20.000
keluarga tinggal bersisa 20 keluarga akhirnya Raja Rum sebagai komando
penyebaran Islam di kala itu harus memikirkan ulang strategi penyebaran Islam
di pulau Jawa dan mesti mengalah untuk mengajarkan dan menerapkan Islam secara
yang bertahap, menyesuaikan dengan keyakinan dan budaya lokal. Hal ini
diisyaratkan dengan pemasangan penangkal oleh Jaka Sengkala/Puyang Rakian sakti
dan Syekh Samsu Zein. Kemudian yang terakhir Jaka Sengkala/Ajisaka/Rakian Sakti
dijemput utusan Raja Rum untuk mengajarkan dan merumuskan ajaran Islam dengan
sentuhan budaya lokal yang dituangkan dalam buku Sĕrat Cakrawarti dan Sĕrat
Paliprawa sehingga lebih bisa
diterima oleh masyarakat di Pulau Jawa. Puyang Rakian Sakti dipandang sebagai sosok yang tepat karena telah
menerapkannya di Sekala Bgha / Buay Aji.
Demikianlah sekelumit mengenai kisah Ajisaka yang
penulis peroleh dan rangkumkan hanya berdasarkan browsing di internet, tentunya
terdapat kekeliruan2 penafsiran yang penulis lakukan dan oleh karena itu kritik
dan sumbang saran dari pembaca sangat penulis harapkan.
-------------------------