Laman

Kategori

Minggu, 02 Oktober 2011

Lomba Estetika Keris Nasional 2011 Kategori Keris Sumatera Kalimantan Sulawesi 1

Pada tanggal 21-25 September 2011 Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI) dan Pemerhati Tosan Aji Yogyakarta (Mertikarta) mengadakan lomba estetika Keris nasional yang baru pertama kali ini diselenggarakan di Indonesia.
Meskipun lomba sejenis telah lebih dulu dan seringkali di lakukan di malaysia tetapi langkah Mertikarta ini layak diacungi jempol dan sangat menggembirakan bagi pecinta keris dan senjata tradisi lainnya di indonesia, karena dengan lomba estetika ini akan meningkatkan memperluas dan memperdalam pemahaman masyarakat mengenai keindahan seni budaya yang terkandung dalam sebilah keris . Dengan  fokus perhatian pada estetika, lomba yang dijadwalkan akan diselenggarakan 2 tahun sekali ini diharapkan akan menggeser sudut pandang masyarakat yang selama ini memandang keris sebagai benda mistik dan alat perdukunan sehingga dianggap menakutkan dan layak disingkirkan ke tempat yang semestinya sebagai karya seni budaya luhur yang patut dihargai dan dicintai, serta dilestarikan.
Kegiatan lomba seminar dan bursa yang dilaksanakan selama 5 hari tersebut berlangsung meriah, berkat dukungan dari pecinta dan pemerhati keris dan tosan aji lainnya.
 
Lomba estetika keris  nasional di Yogya ini membagi keris dan tosan aji lain yang dilombakan ke dalam 7 :
1. Kategori Gagrak (model) yogyakarta
2, Kategori Gagrak (model) Surakarta
3, Kategori Gagrak (model) Jawa timur dan Madura
4, Kategori Gagrak (model) Jawa Barat dan Cirebon
5, Kategori Gagrak (model) Bali dan lombok
6, Kategori Gagrak (model) Sumatera kalimantan Sulawesi
7, Kategori Gagrak (model)Bebas/ Tosan Aji di luar keris


Salah satu kategori keris yang dilombakan adalah keris Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, dengan peserta yang cukup banyak dan menyajikan berbagai jenis keris dari Sumatera, Sulawesi (Bugis), dan Kalimantan sehingga bisa menjadi bahan pelajaran bagi pemerhati dan pecinta keris.
Di bawah ini adalah beberapa keris peserta lomba yang termasuk dalam kategori Sumatera kalimantan dan Sulawesi

Senin, 19 September 2011

Aji Saka dari Lampung ke Jawa Satu Strategi Penyebaran Islam

Legenda Aji Saka menjadi mitos yang sangat popular di jawa, konon Prabu Aji Saka adalah yang pertama kali mengajarkan Aksara Hanacaraka yaitu huruf Jawa saat ini, ada keyakinan juga bahwa Aji Saka lah yang pertama membawa dan memperkenalkan senjata Keris Ke jawa, bahkan sebagian besar meyakini bahwa Aji Saka lah peletak dasar budaya Jawa.
Aji Saka diyakini datang ke Jawa pada tahun 1 Saka sehingga dianggap juga sebagai penetap pertama perhitungan tahun jawa yaitu tahun Saka yang dimulai dari tahun 79 masehi. Anggapan bahwa tahun saka adalah tahun Jawa sebenarnya adalah anggapan yang keliru mengingat prasasti-prasasti di Nusantara seperti prasasti persumpahan Sriwijaya pun menggunakan tahun Saka.  Tetapi begitulah mitos yang sudah mengakar dan diyakini selama ini.

Berbagai versi legenda Aji Saka yang beredar tetapi semua meyakini ajisaka lah yg pertama menciptakan huruf hanacaraka, intinya dikisahkan prabu Aji Saka datang ke tanah Jawa mendengar dewata cengkar sebagai penguasa medang kamulan suka makan manusia (rakyatnya), sehingga rakyat nya makin susut dan banyak yg lari, Aji saka memiliki 2 orang pembantu yang pertama disuruh tinggal menjaga pusakanya (keris) dengan pesan tidak boleh diserahkan siapapun kecuali Ajisaka sendiri yang dating mengambilnya, pembantu yang satu dia bawa serta ke Medang kamulan, di Medang Kamulan Aji Saka mendaftar menjadi mangsa dewata cengkar dengan sarat meminta tanah sepanjang ikat kepalanya, Dewata cengkar meluluskan tetapi waktu ikat kepala ditarik terus menerus bertambah panjang sehingga dewata cengkar sampai ke tepi laut selatan dan akhirnya dijebloskan ke laut selatan dan berubah menjadi buaya putih, Ajisaka kemudian menjadi Raja di medang kamulan. Setelah beberapa lama Ajisaka teringat  pada keris pusakanya dan menyuruh pembantunya yang turut serta ke Medang kamulan untuk mengambil keris pusakanya, pembantu yang menjaga pusaka mengingat pesan ajisaka tidak boleh menyerahkan pada orang lain selain ajisaka tidak mau memberikan sehingga berkelahi dengan pembantu yang disuuruh mengambil sehingga keduanya mati. Atas kematian kedua pembantunya ini Ajisaka menciptakan aksara Jawa
 Hana caraka" = "Ana utusan"
"Data sawala= "saling bertengkar"
"Padha jayanya" = "sama digjayanya"
"Maga bathanga" = "sama jadi Bangkai"

Keunikan Aksara Jawa yang disusun dari lima-lima huruf (suku kata) sehingga membentuk  empat kalimat menimbulkan perbagai tafsiran dan makna filosofis, berdasarkan pemahaman masing-masing penghayatnya. Di bawah ini contoh penafsiran filosofis yang diberikan pada aksara hanacaraka

Carakan harus dibaca sebagaimana kita membaca "Candra Sengkala", yaitu dimulai dari "Maga Bathanga".
Maga mbathang = Menempuh jalan kematian (nafsu) sebelum mengalami kematian fisik atau kematian yang kita mengerti dalam hukum biologi.
Perlu diketahui bahwa kata "maga" adalah kata Jawa Kuna yang berarti "musim", atau sebutan bagi bulan ketujuh (11 Januari - 11 Februari). Dus, maga mbathang adalah pengkondisian diri untuk menjalani hidup semedi yang sebenarnya. Inilah kondisi untuk menghilangkan "dualitas" dalam persepsi kehidupan ini.
Padha jayanya = kekuatan dalam diri manusia dan di luarnya telah menyatu padu. Dalam bahasa daratan Cina, Yin dan Yang telah jumbuh menjadi satu sehingga tak bisa lagi diekstrak unsur-unsurnya.
Dhata sawala = tiada lagi pertentangan antara unsur luar dan dalam, tiada lagi pertentangan unsur Yin dan Yang.
Perlu diketahui bahwa dhata ialah kosa kata Jawa Kuna yang searti dengan dhatan yang maknanya "tanpa" atau "tiada". Sedangkan "sawala" bermakna pertentangan, pertikaian, atau perkosaan.
Hana caraka = muncullah caraka, atau lahirlah pesan atau kreasi Dus, lahirnya alam semesta ini ya adanya proses Hanacaraka pada Sang Hidup atau Hyang Urip. Terjadinya kreasi dalam kehidupan ini ya karena adanya manusia-manusia yang menjalani proses Hanacaraka.   

Adapula tafsir berbeda yang diajarkan oleh Pakubuwono IX, Raja Kasunanan Surakarta. Tafsir tersebut adalah:
·         Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada " utusan " yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan ).
·         Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data " saatnya (dipanggil ) " tidak boleh sawala " mengelak " manusia ( dengan segala atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan.
·         Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi hidup
( makhluk ). Maksdunya padha " sama " atau sesuai, jumbuh, cocok " tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu " menang, unggul " sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan " sekedar menang " atau menang tidak sportif.
·         Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.


Mengenai asal usul Ajisaka terdapat banyak versi ada yg mengatakan dari India ada yg mengatakan dari Arab, dan lain-lain, yang menarik beberapa kitab menghubungkan Ajisaka dengan Lampung, bahkan Ronggowarsito dalam Serat Witoradyo menyatakan dengan jelas bahwa Ajisaka berasal dari Lampung

RNG. Ronggowarsito, Serat Witoradyo, III. Surakarta: Albert Rusche & Co, 1922: hal. 11-23.
Diceritakan, bahwa di tanah Lampung berdiri sebuah kerajaan dengan rajanya Prabu Isaka berasal dari tanah Hindu. Sang Prabu Isaka turun takhta dan digantikan oleh Patihnya bernama Patih Balawan. Kemudian dengan empat orang pengiringnya, Sang Isaka yang telah menjadi seorang Brahmana pergi ke tanah Jawa dan tiba di Ujung Kulon (Kulon ?). Di situ mendirikan perguruan dan dia sebagai gurunya dengan gelar Sang Mudhik Bathara Tupangku. Muridnya bertambah banyak. Di dalam perguruan itu diajarkan ilmu kesusastraan, ilmu penitisan (inkarnasi), dan ilmu keagamaan. Beberapa lama di Ujung Kulon, dia pergi ke Galuh dan kemudian terus mengembara ke tanah timur. Sampailah di negara Medhang Kamulan yang rajanya bernama Prabu Dewata Cengkar.
....Kebetulan pada waktu itu keadaan masyarakat Mendhang Kamulan sedang resah. Kesempatan ini digunakan oleh Aji Saka (baca umat Hindu) untuk menyebarkan agama Hindu di masyarakat Mendhang Kamulan. Hal ini dikiaskan dalam lambang "desthar" (ikat kepala). Tradisi Jawa menggunakan ikat kepala. Sedang kepala adalah tempat otak, pikir, nalar. Di otak itulah tersimpan segala macam ilmu pengetahuan manusia. Ikat kepala tadi ketika ditebarkan (di jereng) dapat menutupi seluruh Wilayah Mendhang Kamulan. Di sinilah pengikut Prabu Dewata Cengkar harus mengakui kekalahan berebut pengaruh, dan harus menyingkir dari negeri Medhang (dikiaskan dengan menyeburkan diri ke laut menjadi seekor buaya putih).
Ketika Aji Saka menjadi raja, ditandai dengan sengkalan "nir wuk tanpa jalu" yang menunjukkan angka tahun 1000 Saka atau 1078 Masehi. Tahun Saka diciptakan berdasarkan peringatan penobatan Prabu Kanishka di India pada tahun 79 M = 1 Saka. Tahun Saka mengikuti peredaran Matahari. Di Jawa terdapat tradisi penggunaan sengkalan tersebut. Apabila menggunakan perhitungan tahun Matahari, disebut Surya Sengkala, dan bila menggunakan perhitungan peredaran Bulan di sebut Candra Sangkala. Lahirnya Candra Sangkala adalah sejak masa Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) menciptakan Tahun Jawa dengan perhitungan peredaran Bulan (sejak 1555 Saka atau tahun 1633 Masehi).

Apakah legenda ajisaka ini sekedar cerita tanpa kaitan sejarah sama sekali? Legenda Ajisaka menurut serat Witoradyo ini agaknya sesuai dengan Legenda tentang rakian Sakti / Si Naga sakti/ Aji Saka  buay Aji di Sukarami Aji Komering .

Legenda Rakian Sakti di Komering ini sedikit banyaknya memiliki pijakan sejarah karena Tambo Paksi Bujalan di Way dari Paksi Pak Sekala Bgha di lampung mencatat silsilah Rakian Sakti sebagai berikut:

1.        Ratu Tunggal, memiliki tiga orang anak
2.        Kun Tunggal Simbang Negara, bersaudara dengan Menang Pemuka yang bergelar Ratu Dipuncak yang kemudian pindah ke Bukit Kemuning dan menurunkan jurai Abung. Ratu Dipuncak memiliki empat orang putra yaitu Unyi, Unyai, Subing dan Nuban yang merupakan keturunan Paksi Buay Bejalan Diway serta lima Marga lainnya yaitu Anak Tuha, Selagai, Beliyuk, Kunang dan Nyerupa yang merupakan keturunan dari tiga Paksi lainnya sehingga menjadi Abung Siwo Mego.
3.        Ratu Mengkuda Pahawang, memiliki tiga orang anak
4.        Puyang Rakian, dua orang saudaranya yaitu Puyang Naga Brisang menurunkan jurai Pakuan Ratu Way Kanan dan Puyang Rakyan Sakti yang menurunkan Marga Ngambur

Puyang rakian Sakti keturunan ratu tunggal dari Puncak Sukarami Sekala Bgha inilah yang berjuluk Aji Saka.

Tambo dari desa Bambang Pugung Krui mencatat:
Puyang Rakian Sakti (Si naga Putih) bersaudara dengan Puyang Naga Barisang, Puyang Naga barisang berputra Raja Nganggah-Anggah, Raja Nganggah-Anggah memiliki beberapa putra salah satunya Pemuka Sindang Belawan.
Menurut Ronggowarsito dalam Serat Witoradyo Aji Saka menyerahkan kekuasaan kepada patih Belawan, kemungkinan yang dimaksud adalah Pemuka Sindang Belawan yang sesungguhnya merupakan cucu keponakannya.

Legenda Aji Saka  dari gunung Merapi mengungkap secara lebih samar mengenai asal  Ajisaka

Waktu itu Resi Sengkala atau Jaka Sengkala atau Jitsaka— kalangan umum menyebutnya Ajisaka— telah memberikan nama-nama gunung di seluruh Jawa. Sebelum datang ke Pulau Jawa, sang resi adalah raja yang bertahta di Kerajaan Sumatri. Karena kemenangan Maharaja Kusumawicitra itu, maka segala sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya diganti namanya disesuaikan dengan kebudayaan Mamenang

.
Nama lain Aji saka dalam kisah ini adalah Resi Sengkala, atau Jaka Sengkala, (Pemuda dari Sengkala?) nama Sengkala mengingatkan pada kerajaan Sekala Bgha (Sekala Bkhak) di Lampung, jadi versi kisah inipun secara tersirat menunjukan bahwa Ajisaka berasal dari kerajaan Sekala Bgha di Lampung. Nama Sumatri pun sangat dekat dengan nama Sumatera
Saka adalahperubahan dalam bahasa Jawa dari kata Sansekerta Syaka, yang di India artinya “Bangsa Scyth” dari Persia utara yang pindah ke India Utara, tetapi yang di Jawa, kebanyakan dalam bentuk kata majemuk syakakala, mungkin ini juga yang menjadi dasar penamaan Kerajaan Sekala Bgha di lampung. Meskipun lebih samar versi inipun menunjukan hubungan antara Aji Saka dengan Sekala Bgha di lampung.

Dalam Serat Ajidharma dan Ajinirmala karya R. Ng.Ranggawarsita dikatakan bahwa Ajisaka datang ke jawa sebanyak 3 kali, Pertama ke gunung Khanda (Kendeng?) tetapi kolonisasi pulau Jawa gagal 20.000 keluarga yang dikirim dari Rum tinggal 20 keluarga yang selamat

 Inilah keterangan Sĕrat Ajidarma contoh kutipan dari Kitab Musarar, induk (pokok naskah) dari Rum, yang menceritakan ketika Jaka Sangkala membuka daerah di Gunung Kendheng, yaitu (ketika) Ajisaka mulai menginjakkan (kakinya) yang pertama kali di tanahJawa. Pada waktu itu ditandai sengkalan: Kunir-rawuk-tanpa-jalu, tahun Sambrama, jika diambil dari (perhitungan) tanda sangkala itu tahun 1000, adapun (jika) diambil dari permulaan menjadi tahun 1.
 … Setelah itu Jaka Sangkala berpindah ke gunung Cawang, gunung Pinggan, gunung Hyang, gunung Lawang, dan gunung Limungan. Setahun kemudian terjadilah wabah penyakit yang sangat mengerikan yang menyebabkan dari 20.000 keluarga hanya tinggal 20 keluarga saja. Sedangkan yang lainnya binasa karena keangkeran pulau Jawa. Oleh karena itu kemudian mereka melarikan diri pulang kembali ke Rum. Sesampainya mereka di Rum, Jaka Sangkala menceritakan hasil perjalanannya di pulau Jawa kepada Sultan Algabah

Kedatangan kedua ajisaka (jaka Sengkala ) bersama dengan  Molana Ngali Samsujen (syekh Maulana Ali Samsu Zen) memasang penangkal di pulau Jawa
Kemudian Sultan Algabah memanggil para pendeta dan pertapa untuk mengisi manusia kembali atas pulau Jawa dengan memasang penangkal terlebih dahulu. Dari hasil pembicaraan mereka ditetapkan bahwa Jaka Sangkala dan Molana Ngali Samsujen bersama para pendeta dan pertapa kembali ke Jawa untuk memasang penangkal. Penangkal tersebut dipasang di lima (5) tempat, yakni di sebelah utara, selatan, barat, timur, dan tengah (gunung Tidar, tanah Kedhu). Beberapa hari kemudian pemasangan penangkal tersebut menampakkan hasilnya. Peristiwa alam yang dahsyat terjadi menempuh para hantu penghuni tanah Jawa, membuat mereka merasa kepanasan dan kesakitan, sehingga melarikan diri masuk ke laut.

Kedatangan ketiga setelah keadaan tenang kembali  datanglah utusan dari Rum untuk memanggil kembali Jaka Sangkala ke Pulau Jawa. Sebelum utusan Rum datang,  Jaka Sangkala telah menyelesaikan penyusunan Sĕrat Cakrawarti dan Sĕrat Paliprawa untuk menjadi pegangan bagi orang Jawa.  Pada kedatangan ke tiga inilah Ajisaka menduduki Medang Kamulan
Setelah keadaan tenang kembali maka datanglah utusan dari Rum untuk memanggil kembali Jaka Sangkala. Akan tetapi sebelum utusan Rum datang, maka Jaka Sangkala menyelesaikan penyusunan Sĕrat Cakrawarti dan Sĕrat Paliprawa untuk menjadi pegangan bagi orang Jawa. Jaka Sangkala pun menciptakan tahun, windu, danbulan Jawa secara rinci.
Pada waktu Jaka Sangkala, saat Ajisaka membuka hutan di Gunung Alaulu diberi (ditandai) sengkalan: Sarira-suci: 48.

Kalau dalam Serat Witoradyo IIIRNG. Ronggowarsito menyatakan bahwa Aji saka berasal dari Lampung  pada Serat Ajidharma Ajinirmala bahkan lebih jelas menunjukan tempat Jaka Sengkala di lampung yaitu di gunung Alaulu.
Gunung Alaulu megingatkan dengan cerita tambo Paksi Pak Sekala Bgha yang menyatakan bahwa sebelum kedatangan Puyang-puyang penyebar agama Islam,  Sekala Bghak telah dihuni berbagai penduduk pribumi yg terbesar adalah suku Tumi, kebudayaan suku Tumi diawali oleh datangnya umpu Tumi sebagai pembuka pertama tanah Sekala Bgha kemudian pada abad awal masehi Sekala Bgha dikuasai gelombang pendatang berikutnya yang dipimpin Lalaula. Karena kebesaran Puyang Lalaula ini maka ada daerah pegunungan di Sekala Bgha yang sekarang dinamakan Belalau.

Meskipun hanya berdasarkan kesamaan bunyi, bisa disimpulkan bahwa  Ronggowarsiro menunjukan tempat Jaka Sengkala sebelum diperintahkan raja Rum untuk ke Jawa adalah di gunung Alaulu/Lalaula yg sekarang dikenal sebagai Belalau.     

Serat primbon Jaya Baya menyebutkan bahwa Ajisaka datang dari Pulo Najiran, datang ke Jawa Lewat tanah Lampung

Dalam serat primbon Jayabaya ( hal. 23 - 24 ) terdapatlah pasal yang menyebutkan tentang perginya Prabu Esaka dalam bab V Piwulang Dewa, yang berbunyi :
Pun Jaka sengkala anakipun Empu Anggejali, patutan saking Dewi Saka, Putranipun Raja Sarkil ing pulo Najran Sareng Jaka Sengkolo jumeneng nata, jejuluk Sang Aji Saka jengkar saking negaripun lajeng Nga Jawi, tanpo wonten ing redi kandha ( kendeng ? ) tlatah banyuwangi jejuluk Empu Sengkala. Anuju ing Surya Adam, tahun 5164, Chandra 5316, Empu Sengkala macak titimangsa tahun jawi : kaeteng tahun Candra - Sengkala I Warsa. Tahun Rum anuju angka 444 warsa. Tahun Adam tahun Surya 5161 warsa. Tahun Masehi 78 jumenengan nata
.
Bada waktu Jaka Sengkala yang kemudian bergelar Aji Saka ditanah najiran, dia berguru kepada Nabi Muhamad SAW. Oleh guru dia diusir karena bersahabat pula dengan Malaikat Ijajil (Iblis). Kemudian Aji Saka pergi ke tanah Jawa lewat tanah Lampung, dengan namanya Sang Mudhik bathara Tupangku. Dia ke tanah Jawa dengan keempat orang muridnya. Di tanah Jawa dia mendirikan perguruan di ujung kulon. Kemudian mengembara sampai ke Galuh. Disini murid - muridnya ditinggalkannya, dan dia terus mengembara ke arah timur. Sampailah dia ke Medang Kamulan, tempat Prabu Dewata Cengkar, raja yang gemar makan manusia, bertahta .


lewat tanah Lampung apakah berarti hanya lewat atau dia juga beranak pinak di lampung? Di Primbon Jayabaya ini pun disebutkan bahwa nama lain Aji saka adalah Jaka sengkolo, Jaka/ Pemuda Sengkala/Sekala, menyiratkan juga bahwa Aji Saka adalah Pemuda dari Sekala Bgha lampung tetapi yang diistilahkan datang dari Pulau najiran lewat Lampung.

Kebanyakan masyarakat di lampung percaya nenek moyang mereka berasal dari sekitar Ranau dan Bukit Pesagi yang merupakan wilayah Sekala Bgha kuno, yang setelah berserikat mengislamkan Sekala Bgha kemudian menyebar ke seluruh Lampung sampai ke Sumatera selatan bagian Selatan, kebanyakan tambo buay di lampung saat ini silsilahnya berawal dari saat Sekala Bgha Islam bukan berawal dari Sekala Bgha kuno Budha/hindu. Tetapi kapan persisnya gelombang awal pengislaman Sekala Bgha/Sekala Bkhak masih simpang siur, terdapat kecondongan menua2 kan periode awal nenek moyang masing masing mungkin dengan tujuan menua2 kan trah keturunan masing-masing. Saat kedatangan Aji saka menurut serat Witoradyo ini mungkin bisa menjadi petunjuk kapan tepatnya Islam mulai masuk ke lampung.

Mengenai tahun kedatangan Aji saka selama ini dipercaya pada tahun 1 Saka karena tahun saka berasal ndari nama Aji Saka tetapi disini ternyata ada perhitungan yang agaknya lebih tepat yaitu Aji Saka menjadi raja, ditandai dengan sengkalan "nir wuk tanpa jalu" yang menunjukkan angka tahun 1000 Saka atau 1078 Masehi. Tahun saka bukan ditetapkan berdasarkan saat kedatangan Ajisaka ke Pulau Jawa tetapi Tahun Saka diciptakan berdasarkan peringatan penobatan Prabu Kanishka di India pada tahun 79 M = 1,   kalau penanggalan ini tepat agaknya pada abad 11 masehi jugalah pengIslaman lampung dimulai.

Menarik bahwa ada catatan dalam Primbon jayabaya yang mengatakan Jaka Sengkala yang kemudian bergelar Aji Saka ditanah najiran berguru kepada Nabi Muhamad SAW. Oleh guru dia diusir karena bersahabat pula dengan Malaikat Ijajil (Iblis). Kemudian Aji Saka pergi ke tanah Jawa lewat tanah Lampung, dengan namanya Sang Mudhik bathara Tupangku..”Bersahabat dengan Malaikat Ijail”

Kalimat bahwa Ajisaka bersahabat dengan malaikat Ijail ini sangat menarik, beberapa penafsiran bisa diberikan, bisa saja kalimat ini mengisyaratkan bahwa Aji Saka mempraktekan Sihir sehingga diusir Nabi (gurunya) dalam hal ini tidak mungkin yang dimaksud adalah nabi Muhammad tetapi mungkin yg dimaksud adalah gurunya yang menjadi penerus nabi muhammad.
Kemungkinan kedua, dan kelihatannya yang lebih tepat, cerita ini menggambarkan bahwa Aji saka mengajarkan Islam yang disampaikan dengan cara bertahap disesuaikan dengan ajaran Sekala Bgha (kepercayaan asli nusantara), karena tidak mungkin Ajisaka belajar kepada nabi Muhammad secara langsung, kemungkinan ia diusir (dikucilkan/disingkirkan) oleh ulama yang ingin mengajarkan Islam langsung secara murni tanpa istilah2 dan pemahaman kuno nusantara.

Bahwa Aji saka / Rakian sakti/ naga Sakti menyampaikan ajaran Islam dengan istilah-istilah dari kepercayaan kuno juga dicatat pada cerita rakyat komering buay Aji bahwa Aji saka diyakini sebagai jelmaan Nabi Khidir/ Naga Sakti sebagai penguasa alam gaib yang mengajarkan hukum inti ketuhanan Jaya Sempurna.
Mungkin catatan Buay belunguh Paksi pak sekala Bghak yang mengatakan Umpu Belunguh dengan para hulubalangnya menjumpai raja Rakian dan menceritakan maksud dan tujuan dari perjalanan mereka yaitu untuk mengembangkan agama Islam, Raja Rakian bersama rakyat-rakyatnya pada waktu itu 'dapat dikatakan' sudah memeluk agama Islam..’ merupakan gambaran kondisi penerapan Islam secara bertahap.

Tampaknya terdapat perselisihan diantara para penyebar Islam di kala itu mengenai strategi penyebaran agama kepada penduduk asli nusantara, setelah kegagalan gelombang pertama dimana digambarkan 20.000 keluarga tinggal bersisa 20 keluarga akhirnya Raja Rum sebagai komando penyebaran Islam di kala itu harus memikirkan ulang strategi penyebaran Islam di pulau Jawa dan mesti mengalah untuk mengajarkan dan menerapkan Islam secara yang bertahap, menyesuaikan dengan keyakinan dan budaya lokal. Hal ini diisyaratkan dengan pemasangan penangkal oleh Jaka Sengkala/Puyang Rakian sakti dan Syekh Samsu Zein. Kemudian yang terakhir Jaka Sengkala/Ajisaka/Rakian Sakti dijemput utusan Raja Rum untuk mengajarkan dan merumuskan ajaran Islam dengan sentuhan budaya lokal yang dituangkan dalam buku Sĕrat Cakrawarti dan Sĕrat Paliprawa sehingga lebih bisa diterima oleh masyarakat di Pulau Jawa. Puyang Rakian Sakti  dipandang sebagai sosok yang tepat karena telah menerapkannya di Sekala Bgha / Buay Aji.

Demikianlah sekelumit mengenai kisah Ajisaka yang penulis peroleh dan rangkumkan hanya berdasarkan browsing di internet, tentunya terdapat kekeliruan2 penafsiran yang penulis lakukan dan oleh karena itu kritik dan sumbang saran dari pembaca sangat penulis harapkan.

-------------------------

Jumat, 20 Mei 2011

Badik Bugis

Badik Bugis
terdapat lambang VOC dan nomor seri
kemungkinan pemilik awalnya seorang pejuang melawan Belanda (VOC ) ketika tertangkap badiknya disita dan di cap serta diberi nomor seri menjadi milik VOC

DIMAHARKAN
Hubungi
Husnul Ajisaka
HP 081333735322
fax amritop@gmail,com
TELAH TERMAHARKAN 
Terimakasih







Keris Sumatera : Sempana Palembang

dapur Sempana
tangguh Palembang
pamor woswutah 

DIMAHARKAN
hubungi:
Husnul Ajisaka
Phone: 081333735322
email   amritop@gmail.com

Telah bertemu jodoh, terimakasih semoga bermanfaat




Rabu, 18 Mei 2011

Keris Sumatera Luk 13

Keris Sumatera luk 13
Tangguh Riau
Dapur Sengkelat
Pamor wengkon isen wos wutah

DIMAHARKAN

hubungi :
HP    : 081333735322
email : amritop@gmail.com

TELAH TERMAHARKAN
terimakasih semoga bermanfaat




Jumat, 04 Maret 2011

Asal HUlu Taka

Berdasarkan ukiran patung megalitik di Lembah Ndau dan Besawa Peninggalan masyarakat To Bato Sulawesi Tengah yang diperkirakan dari era 3000-1000 sebelum masehi, hulu burung (sebutan menurut ensiklopedi keris) di Malaysia di sebut hulu kerdas atau patah tiga, di Lampung ada yg menyebut hulu punduk, dan di sulawesi disebut hulu taka/rekko memang berasal dari sulawesi, gaya ukir purba masyarakat To Bato ini kelihatannya terus digunakan di Sulawesi sampai munculnya suku-suku di Sulawesi sekarang, karakter dan gaya ukir yg telah melalui ribuan tahun perjalanan tetap sama sampai saat ini.
Kesamaan karakter ukiran antara hulu keris dan patung megalitik di Sulawesi tersebut menunjukan meskipun jenis hulu ini digunakan meluas di sumatera maupun malaysia tetapi jelas hulu ini khas ukir sulawesi, asal budayanya adalah sulawesi, asimilasi budaya melalui hubungan erat antara dunia Melayu baik di Sumatera maupun Semenanjung dengan Sulawesi memungkinkan jenis hulu ini menyebar luas dan digunakan dan dirasakan sebagai budaya sendiri di Sumatera, Semenanjung, dan Sumbawa.
Ada pendapat hulu jenis ini melambangkan kejantanan pria, dan dikatakan awalnya berbentuk lurus persis seperti patu ng megalitik To Bato di atas dan baru menjadi bungkuk pada saat masuknya Islam untuk menunjukan kesopananmungkin karena Islam berarti juga tunduk patuh.

Jumat, 14 Januari 2011

Jumat, 07 Januari 2011

Keris Sumatera 5: Keris Lampung Kelingi Luk 11

Keris Luk
Dapur Kelingi/ anak khumbai/ Bulung Piyes likuk11
Tangguh Lampung abad 17-18
Panjang wilah 57 cm
Hulu Serindit
Sarung sari bulan/Sehari Bulan